Senin, 30 Januari 2012

Perkembangan Behavioral Finance

Oleh: Budi Hartono

P
erkembangan dan kemunculan behavioral finance diawali dengan penolakan terhadap hipotesa pasar efisien. Profesor Robert J. Shiller dari Universitas Yale adalah seorang yang mempunyai pengaruh besar dengan mengungkapkan bahwa pasar adalah tidak sepenuhnya efisien. Melalui kertas kerja yang berjudul Do stock price move too much to be justified by subsequent changes in dividends yang dipublikasi di The American Economic Review pada tahun 1981, ia menunjukkan terjadi excess volatility antara harga saham dengan fundamental yang mendasarinya, harga saham berflutuasi lebih tinggi dari fundamentalnya. Kertas kerja tersebut menimbulkan perdebatan yang luas dari kalangan akademisi, Paul A. Samuelson menyatakan dari pendapat Shiller bahwa “pada tingkat pasar secara keseluruhan tidak menunjukkan efisiensi secara makro” dan pasca kejatuhan indeks Dow Jones pada Oktober 1987, Bruce Wasserstein mengatakan “buku professor Shiller menawarkan kenyataan baru bagaimana pasar tidak sepenuhnya rasional dan efisien” dan Peter Spiro (1990) menyatakan bahwa ia adalah pemimpin dari penentang ekspektasi rasional/pasar efisien walaupun banyak analis keuangan tidak menyetujui hipotesa pasar efisen tetapi dia yang pertama kali menentang secara terbuka dan Spiro menyebutnya sebagai “guru” (Schwert, 1991).
Pada saat Shiller menunjukkan adanya ketidak efisienan pasar melalui excess volatility, ia sendiri tidak mengetahui faktor apa yang menerangkan pasar menjadi tidak efisien. Dipengaruhi oleh istrinya yang seorang mahasiswa doktoral bidang psikologi pada universitas Daleware, ia mencoba menawarkan penjelasan ketidak efisienan pasar dengan pendekatan ilmu sosial dan pada makalah yang berjudul “Stock Prices and Social Dynamics” (sekarang pemikiran tersebut sebagai paradigma standar dari behavioral finance) pada pertemuan di Brooking Institute[1]. Pada konferensi tersebut ia mendapatkan respon penolakan seperti yang dia nyatakan pada wawancara dengan John Y Campbell:
“…beberapa dari mereka mencoba untuk memarjinalisasi atau mengabaikan apa yang kita katakan. Mereka cenderung mencoba untuk menolak teori tanpa melihat padanya. Mereka selalu mendeskripsikan, bahwa kita mempunyai kesalahan yang serius, sebuah kesalahan bodoh. Walaupun demikian, saya tidak berpikir ini adalah sebuah penerimaan buruk secara keseluruhan, akhir dari permulaan. Pekerjaan kita sunguh-sungguh meliputi membuka pikiran orang-orang, yang sunguh-sungguh melihat bukti…” (diterjemahkan dari Campbell, 2004, hal.661)

Ejekan tidak hanya secara lisan dalam konferensi, secara tertulis G. William Schwert salah seorang pendukung hipotesa pasar efisien menjulukinya dengan ‘sosiolog amatiran’. Pada konferensi tersebut menghasilkan kesimpulan bahwa setiap pergerakan pasar saham harus mempunyai landasan rasional. Ia merespon kesimpulan tersebut dengan mengatakan bahwa kesimpulan tersebut adalah keselahan ‘satu dari kesalahan terbesar dari sejarah pemikiran ekonomi’
Pelopor lain dari behavioral finance adalah Richad H. Thaler, seorang profesor ekonomi dan ilmu keperilakuan dari Universitas Chicago. Thaler menjadi anomali karena menyimpang dari pemikiran ekonomi neoklasik yang dikembangkan dari sekolah pemikir ekonomi (economic schools of thought) di Universtas Chichago. Sekolah tersebut merupakan sekolah ekonomi yang paling terkenal karena banyak ekonom penerima hadiah nobel ekonomi dilahirkan dari sekolah tersebut dan pemikiran ekonominya menjadi mainstream dalam bidangnya.  Demikian juga dengan hipotesa pasar efisien, dikembangkan di universitas tersebut dan menjadi hipotesa sentral dari ilmu ekonomi keuangan. Thaler dan Shiller sudah bertemu sejak tahun 1982, dan keduanya adalah seorang murtad dari pemikiran ekpektasi rasional karena keduanya menulis desertasi doktoralnya bersandarkan paradigma tersebut tetapi akhirnya membelot dengan mengembangkan behavioral finance.
Sejak tahun 1991, Richard H. Thaler bersama dengan Robert J. Shiller dari Universitas Yale mengkoordinasi workshop pada National Biro Economic Research (NBER) dengan dukungan dana dari Russell Sage Foundation. Sejak saat itu penelitian dengan tema behavioral finance semakin berkembang pesat. Perkembangan tersebut ditandai dengan tumbuhnya kertas kerja yang mengambil topik behavioral finance. Jurnal-jurnal ilmiah utama ilmu keuangan seperti The Journal of Finance dan Journal of Financial Economics[2] sudah menjadi media publikasi. Perkembangan tersebut menunjukkan bahwa kalangan akademisi keuangan menerima keberadaannya dan behavioral finance menjadi cara berpikir baru dalam memahami fenomena ekonomi keuangan.
Gambar 1.1 : Skala kata yang dihitung dengan judul “behavioral finance” dan pasar efisien pada tahun 1985-2006
                  Sumber : http://www.econ.yale.edu/~shiller/behfin/index.htm
Keterangan : Grafik tersebut dikontruksi dengan menggunakan Lexis Nexis dengan kata “behavioral finance” dan ‘Efficient markets” pertahun secara eksponensial
 Pengintegrasian ilmu psikologi kedalam ilmu ekonomi dan keuangan membuat Daniel Kahneman, yang memodelkan perilaku manusia mengambil resiko dari ilmu psikologi kedalam ilmu ekonomi dengan nama teori prospek, diganjar hadiah nobel ekonomi tahun 2002, demikian pengakuannya dalam sambutan penerimaan hadiah nobel:
“Interaksi kami dengan Thaler akhirnya memberi bukti yang lebih bermanfaat dari yang kami bayangkan pada waktu itu, dan terdapat sebuah faktor utama dalam penerimaan hadiah nobel saya. Komite menunjuk saya “untuk pengintregrasian dari penelitian ilmu psikologi kedalam ilmu ekonomi”...Amos dan saya memberikan relatif kecil dari ide awal yang kemudian diintegrasikan kedalam cara berpikir beberapa ekonom, dan teori prospek tanpa keraguan menghasilkan beberapa pengakuan dalam usaha menggambarkan psikologi sebagai sumber asumsi yang realistis tentang pelaku ekonomi. Tetapi pendiri dari teks behavioral economics adalah artikel pertama dari Thaler (1980)…Saya percaya, dengan beberapa pencarian Dick dengan apa yang sekarang disebut sebagai behavioral finance[3] (diterjemahkan dari Nobel Laurate tahun 2002)
Jika dibandingkan dengan ilmu keuangan periode sebelumnya, behavioral finance masih berumur lebih muda. Ia sudah dikembangkan tidak hanya sebatas konsepsi tetapi sudah diturunkan menjadi metode operasional untuk menganalisis dan menjelaskan keberadaan mispricing harga saham. Menjelaskan mengapa individu tidak melakukan diversifikasi seperti saran Markowitz (1952,1959) dan bagaimana noise trader menciptakan pasar yang tidak efisien. Behavioral finance lebih diminati oleh kaum muda yang hendak memperoleh gelar doktor dan penelitian pada bidang tersebut terus berkembang dari waktu-kewaktu, baik dari segi kuantitas maupun kualitas (Shiller, 2003). Demikian juga alasan komite nobel ekonomi memberi hadiah karena bidang tersebut paling aktif dalam ekonomi, yang diukur dari publikasi dijurnal utama, desertasi doktor baru, seminar dan workshop dan konferensi (The Royal Swedish Academy of Sciences, 2002). Walaupun masih terdapat banyak kritik terhadap ilmu tersebut, Profesor Jay Ritter (2003) dari Universitas Florida mempunyai keyakinan bahwa behavioral finance bukan cabang dari ilmu keuangan tetapi mempunyai masa depan sebagai main stream dari ilmu keuangan. Senada dengan apa yang diyakini Profesor Jay Ritter, Profesor Richard Roll dari UCLA Anderson School of Management yang pada tahun 1987 terpilih sebagai presiden American Finance Association menyatakan :
“pada tiga dekade yang lalu tidak terdapat riset dalam ilmu keuangan mainstream yang menghubungkan ilmu psikologi dan disiplin yang sesuai. Sekarang, terdapat banyak referensi dalam jurnal utama…tidak ada keragu-raguan bahwa behavioral finance secara cepat menjadi mainstream, paling tidak jika kita mengukur jarak ilmu mainstream dengan bagian yang sangat kecil dari halaman yang dipublikasi pada jurnal peer review”. (diterjemahkan dari Kai, 2004, hal. 43 dikutip dari Roll, 2001, hal.6-7)
Telah dimuatnya pemikiran-pemikiran tentang behavioral finance pada jurnal-jurnal mainstream seperti Journal of Finance, Journal of Financial Economic, The Review of  Financial Studies dan Journal of Financial and Quantitative Analysis yang merupakan jurnal-jurnal keuangan papan atas di Amerika telah menumbuhkan keyakinan dari Profesor Jay Ritter dan Profesor Richard Roll bahwa behavioral finance merupakan the next financial mainstream science yang akan digunakan dalam menjelaskan dan memprediksi fenomena-fenomena dari ekonomi keuangan.
Perkembangan teori behavioral finance tidak hanya mempengaruhi secara akademisi, tetapi sudah mempengaruhi bagaimana pelaku pasar mengelola dananya dengan panduan disiplin tersebut. Secara praktis teori tersebut telah digunakan oleh beberapa manajer investasi besar seperti J.P Morgan dan Morgan Stenley yang telah membentuk satu devisi pengelola dana dengan menggunakan disiplin behavioral finance. Reksadana tersebut telah diluncurkan pada bulan Pebruari 2003, dan selama tiga tahun mempunyai kinerja yang sangat kuat. Pada laporan per 30 Juni 2006, jumlah dana yang telah dikelolanya mencapai USD 70 milyar, atau setara dengan Rp. 700 trilyun dengan kurs per USD/Rp. 10.000,0.(JP Morgan Asset Management, 2006). Ini menunjukkan bahwa pemahaman ekonomi keuangan dengan model perilaku manusia yang telah diintregasikan oleh Daniel Kahneman, Robert J. Shiller dan Richard H. Thaler telah mendapatkan tempat yang layak dan bergengsi, tidak terbatas mempengaruhi cara berpikir akademisi tetapi sudah digunakan oleh praktisi untuk mencari keberuntungan dipasar modal maupun jenis pasar lainnya.


[1] Brookings Institution adalah lembaga nonprotit swasta yang didirikan pada tahun 1918 oleh Robert Brookings yang  memfokuskan untuk meneliti masalah kebijakan publik, lembaga ini dianggap sebagai think tank ekonomi pertama di Amerika
[2]  Berdasarkan Journal of Citation Report yang diterbitkan oleh Institute for Scientific Information The Journal of Finance selama periode 1978-1990 menduduki rangking kedua dan pada tahun 1991-2007 menduduki rangking pertama diukur dari faktor pengaruh publikasinya dalam bidang bisnis dan keuangan. Sebaliknya Journal of Financial Economics pada tahun 1978-1990 menduduki rangking pertama dan pada tahun 1991-2007 menduduki rangking kedua. Sedangkan pengaruh keduanya terhadap bidang ekonomi rata-rata sebagai sepuluh besar (tersedia pada situs http://jfe.rochester.edu/ssci.htm)
[3] Sambutan Daniel Kahneman dalam penerimaan hadiah nobel ekonomi tahun 2002, artikel ini dapat di-download  pada http://nobelprize.org/nobel_prizes/economics/laureates/2002/kahneman-autobio.html

Senin, 21 November 2011

Kecemburuan terhadap Fisika dan Krisis Ekonomi

  Oleh : Budi Hartono

                                          Imagine how much harder physics would be if electrons had feelings !
                                                                                                                        - Richard Feynman –
                              I can calculate the motions of heavenly bodies, but not the madness of people
                                                                                                                          - Sir Isaac Newton -
  Sejak Isaac Newton menulis bukunya Principia Mathematica yang diterbitkan pada tahun 1687 dengan memperkenalkan teori gravitasi dan tiga hukum gerak, fisika telah sukses merevolusi dirinya menjadi ilmu yang mapan. Fisika terus berkembang dan berevolusi mengganti hukumnya seperti yang dijelaskan Thomas Kuhn dalam bukunya The Structure of Scientific Revolutions. Perkembangan tersebut mengundang kecemburuan ilmuwan sosial untuk meniru jejak pengembangan fisika dengan merubah wajah ilmu sosial dengan matematika dan memperkenalkan hukum-hukum dasar, situasi ini sering di sebut sebagai kecemburuan fisika (physics envy). Termasuk ilmu ekonomi dan keuangan, telah merubah diri dengan metematika yang mulai diperkenalkan oleh Paul Samuelson setelah perang dunia kedua dan berubah statusnya dari seni (art) kepada saint (science). Ilmu ekonomi meningkat statusnya dan dianggap sebagai ratu dari keilmuan dan fisika sebagai rajanya.
     Krisis keuangan pada tahun 2007-2009 yang merupakan krisis terbesar kedua sejak depresi besar tahun 1930-an telah membuka perdebatan lama tentang efektifitas metode kuantitatif di bidang ekonomi dan keuangan. Terlebih lagi pada pasar keuangan, ahli-ahli fisika telah banyak bekerja pada bank investasi untuk memprediksi dan memodelkan resiko melalui dengan matematika yang canggih atau disebut risk metric. Data keuangan yang berlimpah dan akurat karena dihasilkan dari sistem informasi yang handal, mengundang ahli matematika fisika untuk mempelajarinya. Terlebih lagi pada dekade terakhir, para analis kuantitatif (quant) mendapat tempat yang bergengsi sebagai analis risiko dan rekayasa keuangan pada hedge fund terkenal seperti Goldman Sach, JP Morgan Chase, Morgan Stenley dan lainnya.
     Salah satu quant yang mengguncang pasar keuangan adalah David X Li yang lahir di Cina, dan belajar keluar negeri untuk mendapatkan bea siswa dibidang bisnis di Kanada melalui CIDA. Ia mendapat MBA aktuaria di Universitas Laval dan PhD statistik di University of Waterloo Ontario. Setelah lulus sekolah pada tahun 1997, ia tidak segera kembali kenegaranya, layaknya mahasiswa yang memperoleh bea siswa masih terikat secara akademis di tempat yang mengirimnya.  Ia melihat masa depannya akan lebih cemerlang dengan kemampuan akturianya, dia akan cepat menjadi kaya. Li melanjutkan kariernya di Canadian Imperial Bank of Commerce. Ambisinya yang besar mendorongnya untuk pindah ke New York untuk mencari peruntungan di tempat pusat keuangan dunia berada, Wall Street, dan menjadi mitra unit risk metric dari JP Morgan Chase.
    Pada tahun 2000, ia mempublikasikan kertas kerjanya yang berjudul On Default Correlation: A Copula Function Approach. Meminjam dari matematika fisika rantai Markov, ia mencoba memecahkan masalah paling sulit di pasar yaitu korelasi kegagalan. Pada pasar keuangan yang terintegrasi dan membentuk rangkaian jaringan, kemungkinan kegagalan perusahaan tidak hanya di tentukan oleh kinerjanya sendiri, tetapi kegagalan perusahaan lain, dapat menyebabkan kegagalan melulai portofolio yang dipegang. Bila portofolio perusaan A terdapat perusahaan B, Jika B mengalami kebangkrutan, maka A dapat mengalami nasib yang sama. Ini adalah kontribusi yang penting, sebelum tahun 1997, tak seorangpun tahu bagaimana menghitung korelasi kegagalan secara tepat. Solusi ini menarik inspirasi dari ilmu aktuaria yang dikenal sebagai sindrom “patah hati”, orang cenderung meninggal lebih cepat setelah ditinggal mati pasangannya. Seperti perusahaan, dapat mati lebih cepat bila dalam portofolionya mengalami kebangkrutan. Prediksi terhadap kematian bermanfaat bagi perusahaan untuk asuransi jiwa dan anuitas gabungan, prediksi terhadap kegagalan perusahaan dapat menentukan resiko dan menjual premi asuransi untuk kegagalan perusahaan.
    Terobosan formula Gaussian Copula, nama tenar rumus tersebut, segera meramaikan pertandingan para quant untuk untuk mengelola risiko dan menciptakan rekayasa keuangan yang lebih canggih. Banyak rekannya aktuaris mendukung formula tersebut dan sangat optimis tentang masa depan model tersebut. Martyn Dorey dan Phil Joubert menyatakan “Kejutan bagi kami adalah banyak aplikasi untuk alat ini dan potensi untuk merevolusi regresi, Garch, dan aplikasi kecerdasan buatan”, dan berharap “barangkali suatu hari nanti ahli aktuaria akan digantikan dengan kekuatan komputer dengan mesin copula”. Keberadaan model tersebut membuat lebih mudah untuk untuk menciptakan dan memperdagangkan surat hutang yang dijamin, atau CDOs, dan menciptakan sistetis dari CDO yaitu Credit Default Swap (CDS), semacam asuransi kegagalan perusahaan, karena model tersebut mampu memahami risiko secara akurat (The Wall Street Journal, 12 September 2005). Pada 10 Agustus 2004, lembaga pemeringkat Mood’s mengadopsi formula David Li sebagai metodelogi pemeringkatan obligasi yang berjamin koleteral (FT Magazine, 24 April 2009).
    “David Li pantas menerima pengakuan”, kata Darrell Duffie, professor universitas Stanford, “dia membawa inovasi ke pasar (dan) itu memfasilitasi pertumbuhan dramatis kredit pasar derivatif”. CDS mulai muncul sejak tahun 1990-an, dan melonjak tajam setelah tahun 2003. Pada tahun 2002, nilai total CDS berkisar $ 2 trilyun dan melonjak secara luar biasa, pada tahun 2007 akhir, nilai totalnya mencapai $ 62,3 trilyun (Wikipedia-CDS). Lonjakan kredit membawa gelembung harga sektor perumahan semakin jauh, dan pada akhirnya, letusan gelembung menyeret perekonomian dunia pada malapetaka. Setelah krisis ekonomi mendera, Gaussian copula menjadi pelampiasan kemarahan dan disalahkan sebagai formula yang menyesatkan. Susan Lee pada judul artikelnya di majalah Forbes mengatakan sebagai “Formula dari Neraka” , Felix Salmon mengatakan sebagai “Resep Bencana: Formula yang membunuh Wall Street”.  Ini seperti Einstein yang disalahkan karena dari formulanya dapat menghasilkan bom atom yang membunuh ratusan ribu manusia di Hiroshima. David Li hanyalah seorang penulis artikel pada jurnal dan menyarankan sebuah model untuk memahami risiko CDS, walaupun akhirnya pelaku pasar memanfaatkan formula tersebut dan membawa bencana keuangan.
     Pihak-pihak yang ikut disalahkan dalam krisis ekonomi 2007-2009 tidak hanya para pelaku pasar, tetapi juga para pembuat kebijakan. Salah seorang pembuat kebijakan yang disalahkan dari hasil jajak pendapat majalah TIME adalah Alan Greenspan. Pada tahun 2000-an pasca serangan teroris 11 September 2001, ia memprakarsai penurunan suku bunga untuk mencegah dampak ekonomi. Pada pidatonya tanggal 8 April 2005, ia memuji inovasi teknologi pada pasar keuangan, katanya “Telah dimiliki dari setiap segment ekonomi kita, sektor jasa keuangan telah secara dramatis ditransformasi oleh teknologi. Kemajuan teknologi telah secara signifikan mengubah pengiriman dan pengolahan hampir setiap transaksi keuangan konsumen, dari yang paling dasar sampai paling kompleks….(seperti) untuk mengevaluasi risiko dan membuat keputusan yang sesuai tentang harga kredit” , salah satu inovasi keuangan tersebut adalah formula Gaussian Copula. Penurunan suku bunga yang rendah, membiarkannya dalam jangka waktu yang lama dan membiarkan jasa keuangan untuk mengatur dirinya sendiri membawa gelembung harga sektor perumahan dan letusannya menyeret krisis.
     Kesaksian Greenspan di depan kongres Amerika yang dimuat di majalah New York Times pada tanggal 18 Oktober 2008 menjelaskan “Henry A. Waxman wakil dari California, kepala komite” menanyakan “apakah kamu meresa bahwa ideologi (pasar mengatur dirinya sendiri) menekanmu untuk membuat keputusan yang kamu sendiri tidak ingin lakukan? Greenspan menjawab “Ya aku telah menemukan sebuah cacat”. Ia menolak disalahkan atas krisis tetapi mengakui bahwa keyakinannya pada deregulasi (mengurangi peraturan dipasar) telah terguncang. Ia setuju bahwa kredit multi trilyun dollar CDS menjadi sumber kekacauan dan mencatat bahwa bisnis besar, sebagian besar tidak diatur menyebarkan resiko keuangan secara luas, katanya: “ini paradigma menajemen risiko modern yang memegang kekuasaan selama beberapa dekade lalu. Bangunan intelektual secara keseluruhan, runtuh pada musim panas tahun lalu” .
     Ekonomi neo-klasik yang sarat dengan model matematika untuk memahami realitas ekonomi dan menjadi mainstream untuk membuat kebijakan selalu menganggap pelaku pasar dapat mengatur dirinya sendiri dan tidak ada aturan yang diperlukan agar ekonomi berjalan efisien. Krisis ekonomi membuat ekonom berpikir ulang, Paul Krugman (nobelis ekonomi 2008) menyatakan: “seperti yang saya lihat, profesi ekonomi tersesat karena para ekonom, sebagai kelompok, mengira kecantikan, berpakaian mengesankan yang nampak dari matematika, untuk kebenaran”. Kritik tersebut segera dijawab oleh John Cocrane (ekonom neo-klasik), katanya: “masalahnya adalah bahwa kita tidak memiliki cukup matematika. Matematika di bidang ekonomi berfungsi untuk menjaga logika lurus, untuk memastikan bahwa “then” benar-benar mengikuti “if”. Tentu saja, kritik terhadap keberadaan matematika tidak terletak apakah matematika mempunyai manfaat terhadap ilmu ekonomi keuangan atau tidak, tetapi terletak kepada keyakinan ekonom itu sendiri, karena menganggap bahwa matematika adalah segalanya dan sumber verifikasi kebenaran. Bila analisis ekonomi tidak di sandarkan pada formalitas matematika, maka dia dianggap tidak ada dan diabaikan.
   Apakah ilmu ekonomi membutuhkan matematika lebih banyak setelah krisis ekonomi? Ilmu yang menyediakan seperangkat matematika yang berlimpah adalah fisika, apakah ilmu ekonomi keuangan harus mengadopsi lebih banyak model matematika fisika sebagai alat analisisnya, seperti ekonomi keuangan yang sekarang ada, mengadopsi matematika dari abad 19. Disisi lain, Infiltrasi matematika kedalam ilmu ekonomi terus berlangsung sampai dengan sekarang, diantaranya adalah pengaruh mekanika statistika fisika yang dikenal dengan ekonomi kompleksitas  yang merupakan manifestasi ketidakpuasan ahli fisika terhadap penggunaan matematika yang bersifat linier dalam ilmu ekonomi. Kalaborasi untuk menjelaskan apakah ilmu ekonomi harus lebih banyak mengadopsi fisika dijelaskan oleh dua orang quant Andrew W. Lo dan Mark T.Mueller (2010) yang berprofesi sebagai professor ekonomi dan ahli fisika dari Massachusetts Institute of Technology (MIT) sebagai berikut:
“Fisikawan percaya pada keberadaan hukum dasar, baik secara implisit maupun eksplisit, dan keyakinan ini sering disertai dengan filsafat reduksionis yang mencari paling tidak kerangka bangunan dan paling sederhana dari sebuah teori tunggal yang dapat dibangun. Bahkan dalam fisika ini adalah penyederhanaan yang berlebihan, sebagai salah satu-era “hukum dasar” akhirnya mencapai batas-batas domain validitas mereka, hanya untuk digantikan dan dicakup oleh era berikutnya “hukum dasar”. Contoh Klasik, tentu saja, mekanika Newtonian menjadi kasus khusus dari relativitas khusus dan mekanika kuantum”.
Sulit untuk berpendapat bahwa ekonom harus memiliki iman yang sama dalam program dasar dan reduksionis untuk menjelaskan pasar keuangan (meskipun iman yang demikian tidak bertahan lama, suatu manifestasi dari kecemburuan terhadap fisika). Pasar adalah alat yang dikembangkan oleh manusia untuk menyelesaikan tugas-tugas tertentu -tidak kebal berubah seperti hukum Alam- dan tunduk pada semua perubahan-perubahan dan kelemahan perilaku manusia. Sementara keteraturan perilaku memang ada, dan dapat ditangkap sampai batas tertentu oleh metode kuantitatif, mereka tidak menunjukkan tingkat kepastian dan prediktabilitas yang sama sebagai hukum fisik. Oleh karena itu, model pembangunan dalam ilmu sosial harus jauh kurang diinformasikan oleh estetika matematika, dan banyak lagi oleh pragmatisme dalam menghadapi ketidakpastian yang sebagian direduksi… Dalam hal ini, ekonomi mungkin memiliki lebih banyak kesamaan dengan biologi daripada fisika”.
Peringatan ketidakmungkinan pengembangan ilmu ekonomi menjadi ilmu pasti dikatakan oleh Paul Samuelson, bapak dari matematika ekonomi yang telah merubah wajah ilmu ekonomi menjadi seperti dewasa ini. Pada wawancara dengan Conor Clarke, The Atlantic 17 Juni 2009, enam bulan sebelum meninggal pada 13 Desember 2009, di umur 94 tahun,  seperti sebuah wasiat terakhir, mengatakan “Yah, aku akan mengatakan ini. Dan ini adalah hal utama yang harus diingat. Makroekonomi - bahkan dengan semua komputer kami dan dengan semua informasi kami – bukan ilmu pasti dan tidak mampu menjadi ilmu pasti ”.

Selasa, 01 November 2011

Keuangan Gender


Pada tahun 1992, John Gray menerbitkan buku dengan judul Men Are from Mars, Women Are from Venus, yang menerangkan bagaimana pengaruh perbedaan jenis kelamin terhadap psikologi laki-laki dan perempuan dalam melakukan komunikasi dan kebutuhan emosi. Brizendine (2006) menjelaskan bahwa sifat feminim dan maskulin antar gender sudah timbul dari kondratnya bukan oleh pembentukan sosial. Ia memberi contoh dengan seorang anak perempuan yang diberi mainan berupa truk bukan boneka sebagaimana umumnya mainan anak perempuan, karena sifat pengasuhan yang melekat pada diri perempuan, anak tersebut menggendong dan menimang truk tersebut dengan berkata “trucky jangan menangis”. Perbedaan gender tersebut menjawab fakta-fakta mengapa laki-laki pada umumnya memilih pekerjaan sebagai ahli hukum, pengacara atau pelaut sedangkan profesi perawat pada umumnya didominasi oleh perempuan dan mengapa tidak sebaliknya.
Identitas gender mempunyai berpengaruh terhadap perilaku laki-laki dan perempuan secara ekonomi dan identitas tersebut mempengaruhi kesejahteraannya dengan cara bagaimana mereka memilih pekerjaan. Kanazawa (2005) menunjukkan bahwa tingkat kesejahteraan mereka pada tempat bekerja tidak dipengaruhi oleh faktor diskriminasi, tetapi mereka mempunyai preferensi yang berbeda dalam memberi makna bekerja. Laki-laki dalam pasar tenaga kerja pada umumnya mempunyai preferensi untuk memperoleh penghasilan yang tinggi. Sedangkan perempuan pada umumnya lebih memfokuskan dirinya pada preferensi fungsi reproduksi. Ini bisa ditunjukkan bahwa pada situasi konflik pemilihan preferensi untuk memperoleh penghasilan yang tinggi atau fungsi reproduksi, perempuan seringkali lebih memilih berperanan sebagai ibu rumah tangga atau pengasuhan dari anak-anaknya dan laki-laki sebagai pencari nafkah dalam keluarga.
Miller et al (2007) menemukan fakta pengaruh siklus menstuasi penari perut perempuan terhadap tingkat penghasilan yang diperoleh dari pemberian tip. Pada siklus estrus atau siklus berahi (ovulasi), mereka memperoleh penghasilan sebesar 15 dollar Amerika perjam lebih tinggi dibanding dengan temannya yang pada saat bekerja tidak berada dalam siklus mentruasi estrus. Pada siklus tersebut perempuan mempunyai daya tarik yang lebih memikat laki-laki pelanggannya untuk memberikan tips. Mereka mengatakan bahwa saat perempuan (penari perut) dan laki-laki (pelanggannya) melakukan interaksi lewat percakapan atau kontak tubuh beberapa menit, perempuan dimata laki-laki seakan-akan memberi sinyal tentang status masa suburnya. Hal tersebut mendorong laki-laki memberikan tips lebih besar, karena dimata laki-laki penari perut terlihat lebih memikat. Temuan ini menunjukkan bahwa kodrat yang melekat pada diri perempuan mempunyai pengaruh bagaimana mereka mendapatkan tingkat penghasilan.
Men Are from Mars, Women Are from Venus tidak hanya ditemukan dalam dunia psikologi individu dan mempengaruhi bagaimana mereka memilih memperoleh penghasilan. Perbedaan tersebut ditemukan juga dalam ilmu keuangan yaitu bagaimana mereka berinvestasi. Psiklogi gender mempengaruhi mereka dalam membuat keputusan investasi, seperti bagaimana mereka menyusun portofolio kekayaannya, toleransi terhadap resiko, kepercayaan diri dalam berinvestasi, bagaimana mereka memahami investasi. Dalam membuat keputusan investasi perempuan seringkali mengkomunikasikan terlebih dahulu dengan pasangannya sedangkan laki-laki lebih jarang. Ini karena kepercayaan diri laki-laki terhadap investasi lebih tinggi dari perempuan. Bagi perempuan, pembuatan keputusan investasi lebih mengkonsumsi waktu, pekerjaan yang melelahkan, dan sulit. Tingkat kehati-hatian dan tingkat toleransi resiko yang rendah membuat perempuan membuat keputusan investasi lebih mengkonsmsi waktu (Hira dan Loibl, 2007).
 Beberapa studi tentang bagaimana perempuan menginvestasikan uangnnya dalam dana pensiun atau menyusun protofolio asetnya menunjukkan bahwa perempuan cenderung lebih berhati-hati (conservative) dan lebih menghindari resiko dibandingkan dengan laki-laki (Batjtelsmit dan Bernasek, 1996). Portofolio asset laki-laki lebih agresif dan mempunyai lebih banyak asset yang berisiko dibanding perempuan. Toleransi resiko yang rendah dari perempuan, membuatnya lebih banyak berinvestasi yang berpenghasilan tetap seperti tabungan bank, deposito, asuransi jiwa dan obligasi pemerintah. Perbedaan penyusunan portofolio mempengaruhi kesejahteraan mereka, karena imbal hasil mempunyai hubungan positif dengan tingkat resiko. Sehingga saat perempuan mencapai masa pensiun, ia memperoleh pendapatan dari pensiun lebih rendah dibanding laki-laki. Ini terjadi dengan perempuan yang sampai pensiun masih bujangan, kegagalan perempuan berinvestasi kurang memadai dalam saham memicu kesejahteraan yang rendah dari uang pensiun (Sunden dan Surette, 1998) karena strategi investasi yang konservatif akan menghasilkan imbal hasil yang lebih rendah.
Jika umumnya perempuan mempunyai kecenderungan lebih berhati-hati, laki-laki diasosiasikan dengan percaya diri yang lebih tinggi, lebih agresif, dan secara umum mempunyai kemampuan kuantitatif lebih baik dibanding perempuan. Odean dan Barber (2001) meneliti 35.000 investor rumah tangga dengan data dari Januari 1991 sampai dengan Februari 1997. Mereka menemukan bahwa laki-laki lebih agresif dalam melakukan transaksi saham yaitu 45 persen lebih tinggi dari perempuan, tetapi imbal hasilnya rata-rata lebih rendah. Hal ini disebabkan laki-laki merasa bahwa dirinya mempunyai kemampuan lebih tinggi dalam menilai saham, padahal berbeda dari kenyataannya. Laki-laki cenderung terlalu tinggi memprediksi kondisi yang baik dimasa mendatang dan kurang mampu memprediksi resiko yang menyertainya. Percaya diri berlebihan membuat laki-laki melakukan transaksi lebih banyak, tetapi justru agresifitas transaksi tersebut mengurangi imbal hasil yang diperoleh, karena digerogoti biaya transaksi.
Green et al (2007) menemukan bahwa analis saham perempuan yang bekerja di perusahaan sekuritas semakin hari terjadi penurunan jumlahnya. Perempuan dalam melakukan analisis tentang prediksi laba perusahaan kurang akurat dibanding laki-laki. Disisi lain perempuan mempunyai kelebihan dalam kemampuan non-kuantitatif pada pekerjaan di broker sekuritas dan cocok sebagai pelayanan pelanggan karena ia lebih baik dari laki-laki. Bukti tersebut menguatkan pandangan ilmu psikologi bahwa laki-laki mempunyai kemampuan secara umum lebih baik dalam hal kuantitatif dibanding perempuan dan perempuan mempunyai kecenderungan mempunyai naluri pengasuhan dibanding dengan laki-laki. Bias gender antara laki-laki dengan perempuan umumnya terjadi pada tingkat kehati-hatian, tingkat kepercayaan diri, tingkat kemampuan analisis kuantitatif. Perbedaan tersebut merupakan anomali terhadap ilmu ekonomi neoklasik dan pasar efisien dan menjadi topik pembahasan dalam behavioral finance. Pengaruh gender menimbulkan pertanyaan, apakah perempuan dan laki-laki dipengaruhi bias gender saat mereka menjadi pemimpin perusahaan? Dan bagaimana perbedaan gaya kepemimpinan yang terjadi di antara keduanya?