Minggu, 02 Oktober 2011

GELEMBUNG


Oleh : Budi Hartono

I can calculate the motions of heavenly bodies, but not the madness of people”.
(Sir Isaac Newton)

Gubernur bank sentral Amerika, Alan Greespan merasa tidak nyaman dan kuatir terhadap kondisi pasar modal pada tahun 1996. Indeks Dow Jones telah menumbus angka psikologis pada level 4000, 5000, 6000 dan terus membumbung pada tahun sesudahnya. Pasar modal mengalami lonjakan didorong oleh kondisi ekonomi yang kondusif dan harapan yang berlebihan terhadap kinerja saham-saham dotcom yang dianggap sebagai ekonomi baru. Netscape adalah saham internet pertama yang menikmati kemujuran gelembung saham dotcom dan menjadikan pemiliknya seorang milyander. Kemudian disusul saham internet lainnya yang meraih dana IPO jutaan dollar walaupun kondisi perusahaan tersebut belum menghasilkan keuntungan. Investor terlalu yakin bahwa saham-saham internet akan menjadi the next Microsoft yang akan menjadi penguasa pada dunia maya. Ekonomi telah berubah dari ekonomi lama yang bersandar pada asset berwujud menjadi ekonomi baru yang bersandar pada asset tidak berwujud.
Pada suatu hari disaat Alan Greenspan berendam dalam bak mandi sambil memikirkan dunia seperti Archimedes, ia menemukan kata yang tepat untuk menggambarkan suasana hiruk pikuk, optimisme, euphoria dan segala harapan yang berlebihan terhadap saham-saham ekonomi baru. Pada pidatonya tanggal 5 Desember 1996, ia menggambarkan kondisi saat itu dengan kata ‘Irrational Exuberance’ untuk menggambarkan kegairaham yang tidak rasional pelaku pasar yang mendorong saham-saham teknologi meningkat tajam dalam tempo yang relative singkat. Shiller (2007) mengartikan kegairanan irasional (irrational exuberance) adalah situasi dimana berita kenaikan harga mendorong antusias investor dan menjangkiti psikologi dari orang ke orang, dalam proses ini dikuatkan dengan cerita untuk membenarkan kenaikan harga dan membuat harga meningkat lebih besar walaupun terdapat kekuatiran tentang nilai riil yang mendasari dari investasi, digambarkan melalui kecemburuan dengan kesuksesan investor lain dan membuat seperti perjudian yang mengesankan.
Gelembung (bubble) digunakan untuk mendeskripsikan harga pasar yang berisi udara dan suatu saat siap meletus. Terdapat banyak deskripsi untuk menggambarkan kejadian kenaikan disertai peluruhan harga-harga secara cepat dan mendadak, istilah tersebut adalah “tulip mania”, “ponzi scheme”, “panic”, “financial crisis” dan “Irrational Exuberance”. Kegairahan irasional atau Irrational Exuberance dicetuskan oleh Alan Greenspan dan di populerkan oleh Robert J. Shiller dalam bukunya yang berjudul Irrational Exuberance. Istilah ini untuk menggambarkan suasana hati berupa kegairahan dan optimisme yang berlebihan pada psikologi investor dalam memprediksi masa depan pada era gelembung saham teknologi di Amerika. Pasar mencapai bubble didorong oleh spekulasi yang berlebihan. Harga-harga mengalami kenaikan yang dramatis tanpa dukungan dari fundamentalnya yang proporsional. Harga yang membumbung tinggi mencapai puncaknya dan kemudian berbalik arah mengalami kejatuhan secara cepat dan mendadak. Pada periode kejatuhan terjadi perubahan psikologi investor, mereka menjadi panik, putus asa dan ketakutan yang menyebar seperti virus yang menggerogoti investor dalam mengambil keputusan investasi. Investor melakukan aksi penjualan hanya untuk sekedar keluar dari pasar tanpa menghiraukan apakah harga jualnya tersebut rasional atau tidak yang penting mereka bisa segera terbebas dari kerugian akibat penurunan harga yang terus menerus.
Secara akademis fenomena fluktuasi yang berlebihan (excess volatility) pertama kali diungkapkan oleh Shiller (1981) yang menemukan bahwa harga saham mempunyai fluktuasi yang terlalu besar bila di bandingkan dengan fluktuasi fundamentalnya. Fenomena lonjakan dan peluruhan harga-harga terjadi secara berulang dari waktu kewaktu, meliputi berbagai jenis pasar dari jenis pasar saham, komoditi dan real estate dan terjadi pada pasar beberapa negara seperti Jepang, Korea, Hongkong dan Amerika. Shiller (1984) dalam konferensi di Brooking Institution menawarkan pendekatan dari ilmu psikologi-sosiologi yang meliputi psikologi massa untuk menjelaskan fenomena tersebut. Ide untuk memasukkan ilmu lain diluar ekonomi mendapat tentangan yang keras. Schwert (1989) menyatakan bahwa pendekatan ‘perilaku sosiologi’ tidak jelas menerangkan kejadian tersebut. Ia mengatakan bahwa fluktuasi harga saham yang terjadi karena pasar sudah mengantisipasi kondisi ekonomi riil di masa depan yang akan memburuk.
Terdapat dua teori yang saling berkompetisi untuk menjelaskan fenomena tersebut, yaitu behavioral finance dengan hipotesa pasar efisien yang saling bersaing untuk menjelaskan mengapa gelembung dan peluruhan terjadi. Behavioral finance menganggap bahwa terjadinya gelembung merupakan fenomena sosial, karena perilaku manusia yang menjadi spekulatif mengakibatkan gelembung dan peluruhan. Disisi lain, Hipotesa pasar efisien berkeyakinan bahwa gelembung tidak mungkin terjadi, lonjakan dan peluruhan diakibatkan oleh fundamental ekonomi yang berfluktuasi. Menurut Stiglitz (1990) keberadaan gelembung merupakan fenomena yang menjadi tantangan terhadap pondasi teori ekonomi dari perilaku individu yang rasional dan model keseimbangan umum untuk mengintreprestasikan keberadaan depresi besar dan kejatuhan pasar modal pada Oktober 1987.

Gelembung yang terkenal
Terjadinya gelembung harga-harga yang diciptakan oleh spekulasi tidak hanya terjadi di pasar modal, tetapi terjadi pada banyak jenis pasar seperti, pasar bunga, pasar real estate yang sudah diidentifikasi oleh ekonom mulai terjadi pada abab ke-16 sampai dengan sekarang. Kisah awal terjadinya gelembung yang terkenal adalah kasus bunga tulip di Belanda yang terjadi pada tahun 1634-1637 atau sering disebut “tulip mania”. Sedangkan kasus gelembung yang terjadi pada pasar modal pada abad ke-17 di pasar modal Inggris adalah kasus Mississippi Bubble yang terjadi pada tahun 1719-1720 dan kasus South Sea Bubble yang terjadi pada tahun 1720. Kasus-kasus gelembung tersebut sangat terkenal dan Peter M. Garber (1990) menyebutnya sebagai First Famous Bubbles. Ternyata kejadian gelembung tidak berhenti pada jaman tersebut dan terus berulang dimasa sekarang. Diantaranya adalah gelembung saham internet dan dotcom di Amerika pada tahun 2000-an, gelembung saham di Jepang pada tahun 1990-an dan kasus gelembung di pasar real estate di Amerika, Jepang, Korea dan Hongkong.

Kisah bunga Tulip
Kisah terjadinya gelembung berawal dari kisah bunga tulip atau lebih dikenal “tulip mania” yang terjadi di Belanda pada awal abad ke-17. Belanda pada waktu itu merupakan negara yang menjadi pusat pertumbuhan dan pengembangan varietas bunga tulip baru sesudah bunga tulip masuk Eropa melalui Turki pada pertengahan abad ke-15. Tulip yang paling terkenal pada jaman tersebut adalah Semper Augustus yang sangat jarang, sehingga ia mempunyai harga yang tinggi karena kelangkaannya. Kelangkaan disebabkan infeksi virus mozaik yang sering kali menyerang tulip dan menyebabkan bunga bermutasi. Hasil mutasi seringkali menghasilkan bunga yang lebih indah dan jarang ada tandingannya. Pada mulanya bunga tulip hanya diperdagangkan oleh para penghobi bunga kepada sesamanya, tetapi kaum bangsawan menjadi tertarik pada bunga tersebut karena kecantikan, kerapuhan dan sulit untuk dikembangkan. Permintaan terhadap bunga tulip yang terus meningkat mengubah status bunga tulip dari hanya untuk hobi menjadi bunga sebagai simbol status sosial. Bunga tulip digunakan oleh para wanita kaya sebagai hiasan dan menjadi simbol untuk kemakmuran dan kebangsawanan seseorang.
Bunga tulip dengan jenis Semper Augustus pada tahun 1623 mempunyai harga 1000 golden, 1200 golden pada tahun 1624, 2000 golden pada tahun 1625 dan mencapai puncaknya pada tahun Pebruari 1637 sebesar 6700 golden. Harga tersebut pada waktu itu setara dengan sebuah rumah di Amsterdam termasuk kebun yang mengelilingi, padahal penghasilan rata-rata setahun masyarakatnya hanya sebesar 150 golden. Lonjakan harga bunga tulip menimbulkan efek umpan balik yang menyulut orang berbondong-bondong melakukan investasi pada bunga tulip. Harga terus meningkat, permintaan tidak hanya dikendarai oleh kebutuhan tetapi untuk spekulasi juga meningkat mengikuti lonjakan harga. Bagaimana euphoria pasar mempengaruhi orang untuk melakukan perdagangan bunga tulip dikutip oleh Shiller (2003) dari pengarang anonim yang diterbitkan pada tahun 1637 yaitu puncak terjadinya tulip mania, percakapan antara  Gaergoedt dan Waermondt diilustrasikan sebagai berikut:

Gaergoedt: “kamu dengan susah payah mendapatkan keuntungan 10% dengan uang yang kamu investasikan pada pekerjaanmu (seorang penenun), tetapi dengan berdagang bunga tulip, kamu dapat membuat keuntungan 10%, 100%, ya, sampai 1000%”.
Waermondt: “…tetapi jelaskan kepadaku, bagaimana saya dapat mempercayaimu?”
Gaergoedt: “Sekali lagi akan aku jelaskan kepadamu, apa yang telah aku katakan”
Waermondt: “Tetapi saya takut, jika saya memulai dari sekarang, itu terlambat, karena sekarang harga bunga tulip sangat mahal, dan saya takut bahwa saya akan sukses dengan air liur sebelum merasakan daging panggang”.
Gaergoedt: “Tidak ada kata terlambat untuk membuat keuntungan, kamu menciptakan uang sambil tidur. Saya telah pergi jauh dari rumah untuk empat atau lima hari, dan saya datang kerumah pada malam hari, tetapi sekarang saya tahu bahwa bunga tulip yang saya miliki nilainya telah naik tiga atau empat ratus golden; dimana kamu bisa mendapatkan keuntungan seperti ini dari barang lainnya?”
Waermondt: Saya bingung saat mendengar kamu bercerita seperti itu. Saya tidak tahu apa yang dilakukan; apakah banyak orang menjadi kaya dengan perdagangan seperti ini?”
Gaergoedt: “Apa jenis pertanyaan ini? Lihat pada semua tukang kebun yang mengenakan pakaian kumal, dan sekarang mereka mengenakan pakaian baru. Banyak penenun memakai pakaian bekas, dan mereka dengan susah mengenakan, sekarang mereka mengenakan pakaian yang gemerlapan. Ya, banyak dari mereka yang berdagang bunga tulip mengendari seekor kuda, mempunyai kereta kuda, dan selama musim dingin, sebuah kereta kuda musim dingin,…”(diterjemahkan dari Anonim, dari paflet tulip mania[1])

Individu belajar dengan mengamati lingkungannya, bunga tulip yang bullish menjadi umpan balik untuk meniru jejak orang-rang yang telah menjadi kaya dengan berdagang bunga tulip. Umpan balik tersebut menyebar melalui interaksi sosial dengan percakapan antara individu. Mereka menjadi percaya diri berlebihan dan optimis dengan menyakini bahwa harga akan terus meningkat dimasa mendatang dan mereka dapat menjual kembali dengan harga yang lebih tinggi dan menjanjikan keuntungan yang besar dalam waktu yang relatif singkat. Kecenderungan individu untuk menjadi kaya mendadak dengan tanpa susah payah memancing mereka untuk berdagang bunga tulip. Perdagangan yang berlebihan (overtrading) untuk memperoleh keuntungan, mendorong harga bunga tulip mengalami lonjakan yang belum pernah terjadi sebelumnya. Harga yang sudah membumbung tinggi, membuat mereka menyadari bahwa harga tersebut tidak rasional dan terlalu mahal, akhirnya kejatuhan terjadi mengiringi lonjakan.
Lonjakan harga bunga tulip biasa dimulai pada 12 Nopember 1636 dengan harga 10 golden dan terus meningkat dan mencapai puncaknya pada 3 Pebruari 1637 diharga 200 golden. Peluruhan mengiringi lonjakan dan pada 1 Mei 1637 harga kembali pada 10 golden (Thompson, 2007). Lonjakan dan perluruhan harga bunga tulip direkam oleh Charles MacKay pada bukunya yang terkenal “Memoirs of Extraordinary Popular Delusions” yang diterbitkan pada tahun 1841.

“banyak individu tumbuh dengan kaya mendadak. Sebuah umpan emas digantung yang menggiurkan orang-orang, dan satu dari lainnya, mereka berbondong-bondong ke pasar tulip, seperti kumbang yang mengitari pot madu…pada akhirnya, bagaimanapun, kehati-hatian yang lebih untuk melihat kebodohan bahwa hal itu tidak berlangsung selamanya. Orang kaya tidak lagi membeli bunga untuk ditaruh dalam kebunnya, tetapi untuk dijual lagi dengan laba dari sen ke sen. Ini kelihatannya pada akhirnya semua orang harus ketakutan untuk kehilangan. Sebagai hukuman yang menyebar, harga jatuh, dan tidak pernah naik lagi”. (diterjemahkan dari MacKay, 1841, dikutip oleh Shiller, 2003, hal.92)

Terdapat perdebatan tentang faktor yang menyebabkan terjadinya gelembung dan peluruhan bunga tulip. Garber (1990) tidak setuju dengan pendapat Mackay (1852) yang menyatakan bahwa tulipmania disebabkan oleh faktor psikologi, menurut pendapatnya tulipmania dapat diterangkan oleh faktor fundamental ekonomi. Mekanisme permintaan dan penawaran terhadap bunga tulip yang langka yang menyebabkan lonjakan dan peluruhan harga bunga tulip. Varietas bunga tulip yang langka dan susah untuk diproduksi atau dikembangkan menimbulkan permintaan yang besar dan harganya cenderung naik. French (2006) menyatakan bahwa tingginya uang koin yang beredar (easy money) pada waktu itu mempunyai andil terjadinya tulipmania karena investor salah melakukan investasi. Kebijakan uang yang longgar dan suku bunga yang rendah menyumbangkan timbulnya permintaan terhadap bunga tulip, dan ini membuat harga terus melambung.
Thompson (2007) mempertanyakan faktor fundamental yang dinyatakan oleh Garber yang mendasari terjadinya lonjakan dan peluruhan pada saat harga bunga tulip mencapai puncaknya pada awal Pebruari 1637 adalah 20 kali lebih tinggi dari harga tiga bulan sebelumnya mencapai puncak. Bila dihitung dengan rata-rata penurunan tahunan adalah sebesar 99,999% bukan 40% sebagaimana dinyatakan oleh Garber. Ia menyatakan bahwa Peter M. Garber telah mengabaikan data yang telah dimiliki dalam menginteprestasikan tulipmania. Penurunan yang sedemikian tajam menimbulkan pertanyaan, tingkat suku bunga apa yang dalam satu tahun mencapai sedemikian tinggi? Tingginya tingkat penu-runan tersebut menjelaskan mengapa tulipmania dianggap sebagai fenomena gelembung bukan sebab dari faktor fundamental.

South Sea Bubble
Pada abab ke-17 kawasan Eropa memasuki masa keemasan dan revolusi industri pertama dalam sejarah. Pada masa tersebut, negara di Eropa sedang melakukan perluasan koloninya untuk memperoleh sumber daya ekonomi baru dari daerah Amerika, Asia, Afrika dan lainnya. Pada akhir abab ke-17, ekonomi Inggris berada pada masa transisi dimana sistem perbankan masih muda dan pasar modal masih dalam taraf embrio karena baru lahir untuk mendukung ekspansi ekonomi dan politik. Sebelum tahun 1698 jumlah perusahaan yang terdaftar di pasar modal Inggris hanya sebanyak 14 dan meningkat melebihi 100 sesudahnya. Peningkatan ini karena masuknya investor asing yang membuat pasar menjadi aktif dan likuid (Thomas, 2003). Kisah gelembung dipasar modal dimulai dengan meledaknya saham South Sea Company (SSC) karena perubahan ekonomi mendorong meningkatnya optimisme dan harapan di Inggris Raya yang telah menang dalam peperangan dan memperluas kerajaannya keluar negeri.
Gambar 1: Gelembung saham South Sea Company, East India Company (VOC) dan Bank of England
Sumber: Hans-Joachim VothThe New Palgrave Dictionary of Economic, Second Edition

Kisah lonjakan dan peluruhan bunga tulip di Belanda terulang lagi pada kisah South Sea Company di Inggris, East India Company atau VOC dari Belanda, dan Mississippi Company di Perancis, dimana perusahaan tersebut adalah perusahaan yang diberi hak monopoli oleh pemerintah terhadap koloninya. SSC didirikan pada tahun 1711 oleh Robert Harley dan dijamin hak dagang monopoli dengan Treaty of Ultrech’s untuk memperdagangkan budak di wilayah perairan Karibia yang merupakan koloni kerajaan Spanyol. Perusahaan tersebut belum melakukan kegiatannya di Amerika Utara sampai dengan tahun 1717 dan kinerja perusahaan pada tahun 1718 sangat rendah, tetapi diharapkan dalam jangka panjang kinerjanya akan bagus. SSC memperoleh hak monopoli untuk perdagangan di Karibia, EIC untuk hak monopoli Belanda di Indonesia. Kasus gelembung dipasar modal dapat ditelusiri terjadinya bubble pada saham South Sea Company (SSC) di Inggris atau lebih popular disebut sebagai South Sea Bubble.
Terdapat dua penjelasan yang saling saling bersaing untuk memahami mengapa South Sea bubble terjadi. Perdebatannya meliputi, apakah pergerakan harga saham dikendarai oleh fundamental atau faktor lain atau apakah perilaku investor yang rasional atau tidak rasional yang menjadi sebab terjadinya gelembung sehingga mengakibatkan pasar menjadi tidak efisien. Penjelasan tersebut merupakah kontes kecantikan antara hipotesa pasar efisien dengan behavioral finance untuk memcari pemahaman apakah keberadaan gelembung adalah bagian dari pemahaman pasar modal efisien atau tidak. Garber (1990) menyatakan bahwa kejadian tersebut tidak tepat katakan sebagai “gelembung” karena terdapat faktor fundamental yang mendasari yang menunjukkan bahwa investor adalah rasional dalam memvaluasi saham SSC berdasarkan informasi yang tersedia.
Kindleberger (2000) dalam tinjauan buku Peter M. Garber Famous First Bubbles: The Fundamental of Early Manias menyatakan: 
“apakah investor yang membeli saham South Sea pada harga £1.000 adalah berperilaku rasional? Jawabannya adalah tidak. Pertama, terdapat informasi publik yang mencukupi yang menyatakan bahwa harga saham telah mengalami overvalue yang serius. Kedua, memasuki periode gelembung yang sudah akut, investor dihadapkan pada resiko yang lebih besar daripada imbal hasil: mereka memburu potensi keuntungan yang kecil dan berresiko untuk menderita kerugian akan lebih besar. Ketiga, ‘fundamental’ (prospek jangka panjang perusahaan) tidak mengalami perubahan dalam tahun tersebut” (diterjemahkan dari Kindleberger, 2000, hal.3)

Richard Dale (2004) dalam bukunya The First Crash: Lessons from The South Sea Bubble berpendapat serupa dengan Kindleberger (2000). Ia menunjukkan dua bukti yang menunjukkan bahwa hal tersebut adalah fenomena gelembung yang didorong oleh investor yang tidak rasional. Pertama, terdapat peringatan kepada investor oleh Archibald Hutchenson, yang menyatakan bahwa potensi laba SSC tidak dapat mendasari dari harga saham SSC pada waktu itu. Selama tahun 1720, Hutchenson mempelajari dan mepublikasi laporan detail (seperti rekomendasi analis saham sekarang) yang menyatakan bahwa saham SSC sangat overvalue dan akan cenderung untuk ambruk, tetapi investor mengabaikan rekomedasi tersebut dan harga terus melonjak (Sylla, 2004)..
Thomas (2003) meninjau ulang perdebatan untuk menjelaskan keberadaan South Sea Bubble antara dua ahli sejarah ekonomi yaitu Peter M. Garber yang menyatakan bahwa hal tersebut didasari oleh faktor fundamental, sedangkan Charles P. Kindleberger (profesor ekonomi emeritus di Universitas Harvard Amerika) menyatakan bahwa faktor psikologi menjadi sebab mengapa harga SSC mengalami gelembung dan peluruhan. Thomas (2003) menyatakan bahwa agak sulit untuk menyimpulkan bahwa gelembung tersebut hanya terjadi oleh satu sebab, faktor fundamental dan psikologi pelaku pasar menyumbangkan terjadinya gelembung dan peluruhan. Jika pasar adalah efisien, seharusnya refleksi fundamental terhadap harga saham adalah proporsional, tetapi seringkali informasi fundamental di refleksikan kepada harga saham bersifat berlebihan atau overreaction sehingga harga yang tercipta mengalami fluktuasi yang lebih tinggi dari informasi yang mendasarinya.



[1] Waermondt en Gaergoedt, over de Op-en Ondergang van Flora, The Robert E.Gross Collection, A Memorial to the Founder of the Lockheed Aircraft Corporation, Business Administration Library, University of California Los Angeles, tersedia pada http://www.biodiversitylibrary.org/item/72710#page/1/mode/1up


Tidak ada komentar:

Posting Komentar